“Anda harus menganggap ini rumah Anda sendiri. Oke, kalo di luar, silakan Anda pakai. Tapi ini rumah Anda!”
Sambil sibuk mengambil paper yang saya print di tas, saya mencoba memahami kalimat beliau.
“Saya ga tau kenapa sekarang boleh. Dulu ga boleh!” tatapan beliau sinis.
“Kita kan cuma melihat mata. Kita ga pernah tau siapa yang ada di balik itu.”
Ah, ternyata beliau mengomentari niqab saya.
Saya pikir beliau menangkap kegugupan saya dan mencoba membuat rileks dengan mengatakan saya harus menganggap kampus ini rumah sendiri.
Lidah saya yang memang sudah kelu sejak bertemu beliau 10 menit yang lalu, semakin beku seperti balok es. Sama sekali tak menyangka dosen yang saya idolakan, melontarkan kalimat tak enak seperti itu.
“Sekarang jumlahnya kecil. Saya masih bisa mengenali dari suara. Coba kalau besar? Bagaimana membedakannya? Dulu, kalau ujian, harus dibuka itu.”
Otak saya seketika berhenti berfungsi.
Yang dikritik tak hanya calon proposal saya.
…
“Bu, mungkin ini hanya terlihat seperti helaian kain aneh yang menutupi wajah. Tapi jika diminta melepasnya, saya merasa seperti ditelanjangi, Bu. Perasaan ini tidak dibuat-buat. Saya sendiri tak paham bagaimana perasaan itu muncul!”
Ingin sekali saya bersuara, memberi pengertian pada wanita yang saya anggap ibu di tanah orang ini.
Tapi nyatanya, saya hanya bergeming. Sedapat mungkin menahan air mata agar tidak jatuh.
…
Saya tidak menyalahkan beliau. Saya tahu komentar itu tak bermaksud menyakiti atau menghina saya. Beliau hanya tidak tau apa arti kain kecil ini bagi kami yang memakainya.
Saya mulai belajar untuk tidak membenci siapapun yang kurang nyaman dengan pakaian saya.
Pertama kali menerima perlakuan tidak adil dari salah satu dosen (ketika dikeluarkan dari kepanitiaan), iya, saya menyimpan dendam. Saya tak akan segan-segan melempar beliau ke danau UI jika hal itu legal dan halal.
Tapi kemudian saya sadar, mereka hanya tidak tahu.
…
Di kos, saya menangis sejadi-jadinya. Saya menagis bukan karena sedih diperlakukan seperti itu. Saya menangis karena sadar, Tuhan sedang menegur saya.
Apa benar secinta itu saya pada niqab saya?
Sekeras apa usaha yang telah saya lakukan agar pantas mengenakanya?
Sebesar apa perubahan pada diri saya, sebelum dan sesudah niqab menjadi bagian dari diri saya?
Otak saya melakukan scanning cepat atas jawaban pertanyaan-pertanyaan itu. Saya tercekat, lalu lagi-lagi tangis saya pecah.
…
Setelah sedikit tenang, saya mulai berpikir, ah, lewat kejadian siang tadi, lewat dosen yang saya kagumi, Tuhan hanya ingin menyampaikan kerinduannya.
Tuhan ingin menarik anak bandel yang akhir-akhir ini sering jauh. Jauh sekali. Sampai saya tak mengenali diri saya sendiri.
Ujian keistiqomahan itu memang sangat nyata. Dan lebih dahsyat dari yang dibayangkan. Dan pendosa ini tidak lulus! Sempat jatuh!
Memang benar, kadang Tuhan mengirimkan seseorang hanya untuk menjadi ujian.
Dan saya begitu sombong. Jarang sekali meminta diteguhkan dalam istiqomah. Terlalu percaya diri!
…
Beruntung, Tuhan Maha Baik. Ada saja caraNya menjaga anak bandel ini agar tidak tergelincir lebih lebih jauh.
Salah satunya ya dengan kejadian pagi ini.
Saya disadarkan dengan cara yang unik!
See, Tuhan tidak akan pernah meninggalkan mahlukNya.
Don’t cry ya, big girl! Ada Allah kok!
Oh, satu lagi, jangan lelah meminta istiqomah!
“